Aplikasi-aplikasi CRM

Banyak hal yang menarik dari rubrik Q/A ini. Karenanya saya juga nggak mau ketinggalan. Pak Eko, aplikasi-aplikasi apa saja yang dapat dikategorikan sebagai CRM? Apakah perusahaan skala menengah sudah layak menerapkan CRM?


Yanti Irman H,
Manajer Pemasaran, Medan

Dilihat dari obyektifnya, yaitu untuk meningkatkan kualitas hubungan atau relasi antara perusahaan dengan pelanggannya agar yang bersangkutan dapat menjadi customer yang loyal, penerapan konsep aplikasi CRM tidak membedakan apakah perusahaan tersebut berskala kecil, menengah, atau besar. Selagi perusahaan merasa perlu menjalin komunikasi dan interaksi yang “intim” dengan pelanggannya, pada saat itu konsep CRM dibutuhkan.

Dari jenisnya, aplikasi CRM dapat dibagi menjadi 3 (tiga) kategori, yaitu masing-masing: Operational CRM, Analytical CRM, dan Collaborative CRM. Karakteristik dari masing-masing kategori adalah sebagai berikut:

• Operational CRM merupakan kumpulan dari aplikasi yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan proses transaksional yang berhubungan dengan pelayanan pada pelanggan. Terdapat 3 (tiga) tipe aplikasi dalam domain ini. Pertama, aplikasi mobile office yang diinstalasi pada perangkat digital (digital devices) portable – seperti handphone, personal digital assistant, notebook, dan lain-lain - yang digunakan oleh sejumlah salesman atau company agent yang lain untuk melayani pelanggan.

Kedua, aplikasi front office yang digunakan oleh salesman, marketing agent, atau customer service sebagai alat bantu dalam memenuhi kebutuhan pelanggan yang menghubungi mereka sehari-hari.

Ketiga, aplikasi back office yang merupakan aplikasi penunjang sejumlah aplikasi utama dalam dua domain terdahulu.

• Analytical CRM merupakan kumpulan dari aplikasi yang digunakan khususnya oleh para pimpinan, manajer, dan supervisor dalam usahanya mengambil sejumlah keputusan (decision making) penting, baik yang bersifat strategis maupun operasional. Jantung dari domain aplikasi ini terletak pada sebuah data warehouse yang berisi data dan informasi lengkap mengenai seluruh profil pelanggan beserta rekaman transaksi dan “perilaku”-nya. Keseluruhan data dan informasi inilah yang akan menjadi dasar kajian/analisa manajemen terhadap karakteristik pelanggan yang dimiliki perusahaan, sehingga manajemen dapat mengambil sejumlah langkah-langkah strategis dalam usahanya memahami kebutuhan dan menjalin relasi intensif dengan pelanggannya.

• Collaborative CRM merupakan kumpulan dari aplikasi yang memiliki fungsi utama untuk membantu manajemen dan karyawan perusahaan dalam menjalin aktivitas komunikasi, kolaborasi, dan kooperasi secara efektif dengan para pelanggan perusahaan. Dengan menggunakan beragam kanal akses (access channels) seperti website, tele conference, email, chatting, fax, e-receptionist, dan lain-lain diharapkan akan diperoleh sebuah mekanisme interaksi yang dapat memuaskan pelanggan karena seluruh kepentingan dan kebutuhannya dapat dipenuhi oleh perusahaan.•


Apakah Semua Perusahaan Membutuhkan DRC?

Seberapa besar manfaat Disaster Recovery Center (DRC) bagi suatu perusahaan? Hal-hal apa yang perlu menjadi perhatian dalam menyediakan sistem tersebut? Apakah semua perusahaan layak mengimplementasikan sistem DRC ini?

Erwin Winneto,
Manajer Pengembangan Bisnis, Jakarta

Setiap perusahaan pasti memiliki mekanisme yang terkait dengan proses penciptaan produk dan/atau jasa yang ditawarkan kepada pelanggan. Sejumlah rangkaian proses utama ini (core processes) biasanya ditunjang oleh beragam teknologi informasi (TI) dan komunikasi agar tercipta suatu mekanisme kerja yang efektif, efisien, dan terkendali dengan baik.

Melihat bahwa core processes merupakan suatu penting yang harus selalu dijaga kinerjanya – dalam arti kata tidak boleh sampai terjadi peristiwa dimana core processes terhenti aktivitasnya yang berarti pula perusahaan tidak dapat menciptakan produk dan/atau jasa yang seharusnya dihasilkan – maka perusahaan harus memikirkan cara atau strategi dalam menghadapi sejumlah risiko yang berpotensi mengganggu jalannya aktivitas produksi tersebut.

Salah satu upayanya adalah dengan membangun sebuah Disaster Recovery Center (DRC), dimana jika terjadi gangguan serius yang menimpa satu atau beberapa unit kerja penting di perusahaan – seperti pusat penyimpanan dan pengolahan data dan informasi – proses produksi tetap berjalan sebagaimana mestinya karena ada DRC yang mengambil alih fungsi unit yang “rusak” tersebut. Contohnya adalah ketika terjadi malapetaka yang menimpa sejumlah perusahaan besar dunia yang bermarkas di World Trade Center tetap dapat beroperasi (segera pulih kegiatan operasionalnya dalam waktu cepat), karena mereka telah mempersiapkan sejumlah DRC untuk mengantisipasi bencana yang tidak dikehendaki tersebut.

Membangun sebuah DRC yang baik, bukanlah suatu hal yang mudah – bahkan beberapa praktisi mengategorikannya sebagai sebuah aktivitas kompleks - karena di dalamnya terdapat beragam aspek dan komponen yang membutuhkan perhatian khusus dan serius. Oleh karena itu, yang perlu dipelajari dan dipahami sungguh-sungguh oleh mereka yang ingin merencanakan dan mengembangkan DRC adalah metodologi pembangunannya. Metodologi yang baik akan menekankan pada aspek-aspek sebagai berikut:

• Memberikan gambaran yang jelas kepada manajemen mengenai besarnya usaha yang harus dilakukan dalam merencanakan, mengembangkan, dan memelihara sebuah DRC;
• Menggalang komitmen penuh dari seluruh manajemen dan karyawan di berbagai lapisan organisasi untuk berpartisipasi dalam proses perencanaan dan pengembangan DRC;
• Mendefinisikan kebutuhan recovery dipandang dari berbagai perspektif bisnis;
• Memperlihatkan dampak kerugian yang akan diderita perusahaan jika DRC tidak segera dibangun;
• Memfokuskan diri pada pencegahan terjadinya gangguan dan mencoba untuk meminimalisasikan dampak negatif yang terjadi – walaupun tetap dipersiapkan berbagai usaha reaktif (recovery) seandainya gangguan tersebut benar-benar terjadi;
• Memudahkan proses pemilihan anggota tim yang bertangung jawab di dalam proses pengembangan DRC;
• Menghasilkan sebuah perencanaan recovery yang mudah dipahami, mudah diterapkan, dan mudah dipelihara; dan
• Mendefinisikan secara jelas bagaimana keberadaan DRC tersebut terintegrasi secara baik dengan sejumlah entiti bisnis lain yang dalam keadaan normal tetap berjalan.

Adapun metodologi perencanaan dan pengembangan DRC yang baik paling tidak harus memperhatikan 8 (delapan) tahapan utama, yaitu:

1. Pre-Planning Activities (Project Initiation) – merupakan tahap persiapan untuk menjamin bahwa seluruh pimpinan dan jajaran manajemen perusahaan paham betul mengenai karakteristik dan perlunya DRC dibangun;

2. Vulnerability Assessment and General Definition of Requirements – merupakan kajian terhadap potensi gangguan yang dapat terjadi karena “kerapuhan” sistem dan usaha untuk mendefinisikan kebutuhan akan DRC yang dimaksud;

3. Business Impact Assessment – merupakan analisa terhadap dampak bisnis yang akan terjadi seandainya gangguan tersebut terjadi pada kenyataannya;

4. Detailed Definition of Requirements – merupakan proses mendefinisikan kebutuhan secara lebih rinci setelah proses kajian terhadap dampak bisnis selesai dilakukan, sehingga perusahaan dapat memfokuskan diri secara tepat (karena adanya keterbatasan sumberdaya yang dimiliki);

5. Plan and Center Development – merupakan tahapan membangun perencanaan dan DRC yang dimaksud sesuai dengan spesifikasi kebutuhan yang telah didefinisikan sebelumnya;

6. Testing and Exercising Program – merupakan rangkaian usaha uji coba atau latihan kinerja DRC dengan cara mensimulasikan terjadinya gangguan yang dimaksud;

7. Execution – merupakan suatu rangkaian proses dimana DRC beroperasi sejalan dengan aktivitas bisnis sehari-hari perusahaan dalam keadaan normal; dan

8. Maintenance and Evaluation – merupakan usaha untuk memelihara dan mengevaluasi kinerja DRC dari waktu ke waktu agar selalu berada dalam kondisi yang prima dan siap pakai.

Membangun DRC yang baik tentu saja memerlukan dana yang tidak sedikit. Perusahaan yang biasanya memutuskan untuk membangun DRC adalah mereka yang memiliki karakteristik usaha sebagai berikut:

• Resiko terjadinya gangguan cukup tinggi karena nature dari proses atau teknologi yang dipakai di dalam menunjang core processes yang ada – misalnya dalam mengimplementasikan internet banking, remote trading, e-auction, dan lain sebagainya;
• Resiko gangguan yang terjadi berpotensi mengganggu sejumlah besar (mayoritas) proses atau aktivitas yang sangat kritikal bagi kelangsungan hidup perusahaan – misalnya terkait dengan automated teller machine, corporate electronic payment system, automatic procurement system, dan lain sebagainya; dan
• Resiko gangguan melekat pada sejumlah proses bernilai tinggi (value-added processes), yaitu serangkaian aktivitas dimana: terkait langsung dengan mekanisme penciptaan produk atau jasa, bersifat mutlak dilakukan oleh perusahaan agar tidak kehilangan sumber pendapatan, dan pelanggan “is willing to pay” untuk keberadaan proses tersebut.•
Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar