Cara Menahan Amarah
  • Ustaz Jeffrey Al Buchori

Ustaz Jeffrey SAUDARAKU yang dirahmati Allah SWT. Kalau saja ada yang bisa merekam bagaimana wajah kita selagi marah, barangkali kita mau berpikir dua kali sebelum marah. Pernah suatu hari terlihat seorang ayah marah-marah kepada anaknya. Masyaallah, wajah orang yang marah itu sungguh tidak sedap dipandang: mukanya merah, matanya melotot, dan napasnya memburu. Sebaliknya sang anak yang kira-kira baru 10 tahun menatap ayahnya dengan nanar, penuh iba dan ketakutan.

Untung sang ayah masih bisa menahan diri. Tetapi toh dia cengkeram juga anaknya, dia goncang-goncang bahunya, lalu menariknya masuk ruangan tak ubahnya mencangking seonggok barang belanjaan. Ilustrasi di atas, tepat seperti yang digambarkan sebuah hadis bahwa marah itu seperti api.

Kalau sudah marah, kita seperti terbawa arus yang kuat sekali, seperti terbawa arus api yang sanggup menerjang apapun yang menghalang di depan kita. Ketika kita dikuasai marah maka kita mampu mengeluarkan kata-kata yang kasar atau bahkan perbuatan-perbuatan yang merusak. Bukan tidak mungkin hanya karena luapan marah yang sesaat hubungan persahabatan yang sudah dibangun bertahun-tahun bisa putus begitu saja.

Lalu apa yang harus kita lakukan ketika kita marah? Yang harus dimengerti, marah itu adalah sebagian dari fitrah manusia. Dengan kata lain, marah yang ada di diri kita itu tidak bisa dipungkiri keberadaannya. Kita tidak bisa menghilangkan amarah tapi yang bisa kita lakukan adalah mengendalikannya.

Dalam beberapa hal marah itu justru diperlukan. Daya Penguat Umar bin khatab dikenal paling pemarah di antara khulafaur rasyidin. Tapi, beliau justru menjadikan tabiat marahnya sebagai daya penguat kepemimpinannya dalam menegakkan keadilan. Beliau tidak segan-segan marah kepada dirinya sendiri ketika mendapati ada umatnya yang kelaparan. Di tingkat perseorangan, Islam menyarankan kita untuk mengendalikan marah dengan berwudhu atau menenangkan diri. Hal ini dapat kita perhatikan dari banyaknya hadis mengenai marah dan pengendaliannya.

“Sesungguhnya marah itu datangnya dari setan dan dia (setan) diciptakan dari api, dan api dapat dipadamkan dengan air. Karena itu jika salah seorang dari kalian marah maka berwudhulah.” (HR Ahmad) Islam juga memberikan keutamaan yang besar untuk mereka yang mampu mengendalikan amarah. Mu’adh ibn Jabal menarasikan bahwa Rasulullah bersabda, “Barangsiapa yang menahan marah padahal ia mampu untuk melampiaskan marahnya itu namun ia tidak melampiaskannya, Allah Yang Maha Pengasih akan memanggilnya pada hari kebangkitan, dan menyuruhnya memilih gadis-gadis bermata jeli yang disukainya.” (HR Abu Daud).

UJE menyarankan untuk seluruh umat muslim di berbagai tempat, mari kita jadikan bulan Ramadan sebagai sarana untuk melatih kesabaran kita, dan dengan demikian mengendalikan kemarahan kita. “Jika kamu sedang berpuasa maka janganlah berkata keji dan janganlah ribut/marah. Dan jika ada orang yang memaki/berkelahi maka hendaklah berkata saya sedang berpuasa.” (HR Bukhari dan Muslim).

Jika dua sumber marah itu adalah kecewa atas harapan-harapan yang tidak kesampaian dan kecintaan diri dan kecintaan duniawi, maka dengan sabar insya Allah kita mampu mendudukkan dua hal itu sebagaimana semestinya. Saya pernah mengungkapkan bahwa pada dasarnya masalah manusia itu sama dari dulu sampai sekarang. Yang membedakan manusia satu dan lainnya adalah cara dia menghadapi masalah itu.

Yang terakhir, mengingat buruknya akibat yang bisa terjadi karena marah, mari kita latih kesabaran kita untuk tidak pongah dan tidak mencari kesenangan dengan merendahkan orang lain.

“Sesungguhnya sesuatu yang paling saya benci dan paling jauh posisinya dariku pada hari kiamat adalah mereka yang banyak bicara angkuh dan besar mulut.” (HR Tirmidzi ). (*)

Label: edit post
0 Responses

Posting Komentar